Senin, Maret 03, 2008

Potret Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP) Aceh

Apa itu KKP Aceh ?

Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP) Aceh merupakan sebuah kelompok kerja advokasi yang mendorong perwujudan partisipasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan negara: disemua level proses (perencanaan, pelaksanaan, auditing, dan distribusi akan hasil-hasil yang dicapai dalam kebijakan) di semua level hirarki struktur propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, mulai dari level gampong, kecamatan, kabupaten hingga ke propinsi.
KKP Aceh dibentuk berdasarkan mandat dari Pertemuan Nasional yang dilaksanakan pada bulan Maret 2005 di Puncak – Jawa Barat. Koalisi NGO HAM merupakan satu-satunya peserta dari Aceh yang terlibat dalam pertemuan tersebut.
Berdasarkan mandat yang diberikan pada pertemuan Nasional KKP, Pada tanggal 27 November 2006 disepakati untuk membentuk Jaringan Kerja Advokasi di Aceh dalam sebuah forum kelompok kerja bernama Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP) Aceh, yang dibentuk oleh sejumlah lembaga yang menyepakati secara tertulis baik secara individu maupun kelembagaan.

Apa cita-cita dan misi yang yang ingin dicapainya ?

Cita-cita KKP adalah terwujudnya Partisipasi Masyarakat dalam Pengambilan Kebijakan. Misi KKP untuk mencapai cita-cita tersebut adalah:
• Mendorong munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang ikut menentukan pengambilan keputusan dan kebijakan Negara;
• Mendorong munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang kritis dan terorganisir yang mampu mempengaruhi pengambilan keputusan dan kebijakan;
• Mendorong munculnya alternatif usulan dari masyarakat tentang keputusan dan kebijakan;
• Memperkuat hubungan dan kerja-kerja advokasi kebijakan antara koalisi dengan kelompok masyarakat pendudukung

Peluang dan Tantangan Mendorong Pembentukan Qanun Yang Partisipatif (2)

Internalisasi Qanun No. 3 tahun tahun 2007.


Persoalan rendahnya pengetahuan anggota legislatif dan eksekutif terhadap substansi qanun ini, bukan hanya terjadi bagi mereka yang ada dilevel Kabupaten/Kota saja. Untuk level provinsi kondisi ini juga terjadi. Banyak diantara anggota dewan belum mengerti apa sesungguhnya makna penting dari keberadan qanun tersebut. Sebuah realitas objektif yang ironis, sebab kelahiran qanun ini dibidani oleh mereka sendiri. Sulit rasanya untuk dimengerti jika mereka tidak paham apa sesungguhnya yang telah mereka lahirkan.

Berbagai pembahasan rancangan qanun yang saat ini terjadi di lembaga dewan maupun di eksekutif berjalan mulus terkadang kurang melibatkan publik secara luas, minimal masyarakat tertentu yang menerima dampak langsung dari keberlakuan sebuah qanun yang nantinya akan diberlakukan. Kondisi ini tentu akan sedikit menghambat keberlangsungan proses pembangunan di Aceh untuk jangka panjang.

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya internalisasi qanun ini dikalangan eksekutif dan legislatif, adalah ketidakfahaman terhadap peran, fungsi, dan tanggungjawabnya. Terlebih di kalangan anggota legislatif dimana keberadaan mereka berasal dari beragam latar belakang. Hal ini tentunya mempengaruhi cara pandang, pola fikir serta tindakan mereka dalam merumuskan dan memutuskan setiap kebijakan yang akan dilahirkan.

Prolega sebagai Stimulan

Sebagai salah satu perwujudan dari tertibnya perundang-undangan di Aceh maka disusunlah Program Legislasi Aceh (Prolega), yang merupakan mandat langsung dari UU PA. Keberadaan Program Legislasi Aceh (Prolega) bisa dijadikan sebagai pendorong untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang dimiliki baik eksekutif maupun legislatif. Prolega yang berisikan rincian qanun yang akan dibentuk dan alasan pembentukan serta substansi yang harus terkandung didalam qanun, akan dapat menuntun akses publik terhadap proses pembentukan qanun. Prolega ini akan menjadi stimulan bagi publik untuk memberikan masukannya pada proses pembentukan qanun-qanun itu nantinya.

Untuk mempercepat implementasi UU PA, maka dibutuhkan pembentukkan aturan pelaksana berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan qanun. Proses pembentukan kebijakan-kebijakan tersebut dibutuhkan kemampuan penggalian secara mendalam tentang apa yang diamanatkan UU PA, dan juga kemampuan untuk merumuskannya dalam bentuk produk perundang-undangan. Tuntutan dibentuknya dengan segera kebijakan tersebut acapkali melupakan pentingnya partisipasi publik. Sehingga prolega menjadi cukup penting dalam menuntun publik untuk mengetahui sejak dini produk kebijakan apa yang akan dibentuk (terutama qanun) serta substansi apa yang akan diatur dalam qanun itu nantinya.

Dengan demikian Qanun No.3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun menempati posisi yang strategis dalam melahirkan qanun berkualitas secara proses dan substansi. Dikarenakan komponen masyarakat sudah bisa menggunakan tahapan dan mekanisme keterlibatannya seperti diatur didalam qanun.

Keterlibatan publik dalam proses pembentukan qanun – qanun yang sudah harus segera lahir ini terkadang dianggap akan `mengganggu`. Ditambah lagi jika mengikuti alur dan mekanisme partisipasi sebagaimana yang terdapat dalam qanun, yang tentunya membutuhkan banyak waktu dan biaya. Bagi anggota DPRA, terutama panitia legislasi, hal ini akan sedikit merepotkan karena didalam prolega sendiri mengharuskan mereka untuk segera menyelesaikan sekian banyak qanun dalam waktu yang telah ditetapkan.

Alasan ini tentu tidak bisa diterima karena untuk mendapatkan qanun yang berkualitas dan memiliki legitimasi sosial tinggi, dibutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit serta juga kesabaran dan ketaatan terhadap azas yang sudah ditetapkan. Hal ini mengingat publik Aceh menginginkan Qanun No.3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun dijalankan secara sungguh-sungguh oleh eksekutif dan legislatif. Dan juga diharapkan bahwa qanun yang dibentuk tidak `miskin proses` dan menjadi alat dalam rangka mempercepat proses pembangunan Aceh pasca konflik dan bencana.

Minggu, Maret 02, 2008

Peluang dan Tantangan Mendorong Pembentukan Qanun Yang Partisipatif (1)

Apapun kebijakan yang dibuat negara, rakyat akan merasakan dampak dari kebijakan itu, oleh karenanya menjadi penting keterlibatan rakyat dalam setiap proses pembuatan kebijakan karena itu diatur dalam konstitusi (UU. No. 10/2004).

Partisipasi publik merupakan elemen mendasar dalam kerangka perwujudan good governance. Tersedianya ruang publik bukanlah sebuah hadiah yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Sebaliknya, hal itu merupakan kewajiban negara untuk memberikan jaminan terhadap tersedianya ruang partisipasi. Karena pada hakekatnya, rakyatlah yang sejatinya memiliki kedaulatan. Mereka berhak untuk terlibat dalam setiap upaya negara melaksanakan kewajibannya. Keterlibatan tersebut dalam rangka memastikan negara menjalankan kewajibannya secara sungguh-sungguh.
Partisipasi dengan demikian merupakan hal yang mendasar, dan bagian yang tidak terpisahkan dalam kerangka governance. Partisipasi menjadi satu dari sembilan unsur tata pemerintahan yang baik. Unsur lainnya adalah, supremasi hukum, transparansi, cepat tangap, membangun konsensus, kesetaraan, efektif dan efesien, bertanggungjawab dan visi strategis.

Dalam konteks demokrasi, pelaksanaan partisipasi dalam pengelolaan tata pemerintahan yang baik, adalah wujud dari partisipasi demokrasi. Dimana hal yang diinginkan adalah terciptanya suatu hubungan yang langsung antara masyarakat dengan pemerintah. Jadi, tidak sebatas pada konteks keterwakilannya dalam institusi pemerintahan maupun partai politik sebagaimana representative democracy.

Jika dicermati dalam tataran praktek, akan sangat terasa bahwa keterlibatan publik dalam proses penyusunan sebuah produk kebijakan masih rendah. Terjadi paradoks antara des sain dan des solen. Secara sepintas kondisi ini terjadi diduga kuat karena ketiadaan kemauan yang kuat dari para pihak, terutama pengambil dan penentu kebijakan. Sehingga acapkali konsep partisipasi yang sudah mendapat payung hukum, tidak pernah berjalan sebagaimana semestinya.

Dalam konteks Aceh, hal yang sama juga terjadi. Publik merasakan begitu sempitnya ruang partisipasi yang ada. Pemerintah masih begitu sulit memberikan hak-hak rakyat. Paradigma yang melingkupi para birokrat tersebut bahwa keterlibatan publik akan menambah persoalan baru dalam memutar roda pemerintahan. Memperlambat proses dan karenanya menghambat kinerja pemerintah.

Inilah sesunguhnya yang saat ini sedang terjadi di Aceh. Padahal jika merujuk pada UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah memberi ruang bagi hadirnya masyarakat dalam setiap proses pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 53 disebutkan bahwa “ Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam ragak penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah” Meskipun disadari pasal ini merupakan pasal yang tidak berbunyi, alias pasal ‘mati’. Artinya tidak dijelaskan bagaimana sesungguhnya bentuk dari perwujudan hak tersebut dilakukan. Semuanya diserahkan kepada legislatif yang diatur melalui tata tertib. Inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh pemerintah untuk tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan kewajibannya. Namun demikian, setidaknya UU ini telah memberi sedikit ruang bagi publik untuk terlibat.

Kehadiran UU Pemerintahan Aceh diharapkan bisa membuka ruang yang lebih lebar bagi keterlibatan publik dalam setiap pembuatan kebijakan di Aceh. Berkaca pada proses kelahiran UU ini, bisa menjadi pelajaran berharga untuk merumuskan sebuah regulasi yang mengatur tentang mekanisme partisipasi masyarakat. Pasal 238 Ayat (1) UU PA menyebutkan : ”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun. Ayat (2) Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik. Kemudian dalam beberapa pasal lain, seperti pasal yang mengatur tentang perekonomian, pendidikan, partai politik lokal, juga menyebutkan adanya patisipasi masyarakat.

Berangkat dari hal inilah kelahiran Qanun Aceh No 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun menjadi penting untuk dimaknai sesuai dengan semangat mewujudkan tata pemerintahan yang baik di Aceh. Harus disadari bahwa ketiadaan ruang bagi peran serta masyarakat dalam sebuah proses pembentukan peraturan perundang-undangan, merupakan awal dari munculnya benih-benih konflik. Tidak jarang sebuah peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan mendapat penolakan dari masyarakat oleh karena dalam proses pembentukannya mengabaikan aspek partisipasi. Sebut saja misalnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya; dan Undang-undang Yayasan.

Tentu tidak ada yang menginginkan berbagai qanun yang dilahirkan di Aceh mendapat penolakan dari masyarakatnya. Terlebih berkenaan dengan qanun-qanun yang bernilai strategis. Dengan kondisi Aceh yang masih dalam transisi, reaksi apapun yag ada dimasyarakat akan sangat rentan terhadap munculnya reaksi lainnya yang bisa menggangu situasi daerah yang semakin kondusif.

Keberlakukan Qanun No 3/2007, sesunggguhnya masih belum berjalan secara efektif. Meskipun saat ini proses pembuatan qanun oleh legislatif dan eksekutif terus berjalan, tetap saja mengabaikan peran serta masyarakat sebagaimana telah diatur oleh qanun tersebut. Sekadar contoh kasus pengabaian hak masyarakat, adalah pada proses pembentukan qanun sturuktur organisasi dan tata kerja sekretariat daerah dan sekretariat DPRA. Qanun ini sarat dengan kepentingan, karena berdampak pada hilangnya beberapa dinas tekhnis. Ini dengan sendirinya berpengaruh pada serapan dan realisasi anggaran pembangunan. Hal ini dikarenakan dalam pembahasannya, tahapan-tahapan dari mekanisme yang harus dilakukan untuk membentuk sebuah qanun terabaikan begitu saja. Tidak dibuatnya dialog publik, diseminasi informasi secara massif, keberadaan naskah akademis, dan waktu keterlibatan masyarakat yang dipotong.

Contoh lain adalah pembahasan rancangan qanun bantuan keuangan partai politik dan partai politik lokal. Rancangan qanun ini terus berproses tanpa memberi ruang sedikitpun kepada publik untuk terlibat. Pembahasan dilakukan dengan sangat tertutup. Bisa dimaklumi karena rancangan qanun ini sarat dengan kepentingan politik para politisi yang berasal dari partai nasional yang nota benenya saat ini masih duduk di kursi dewan. Jika ini di buka kepada publik, maka akan memperkuat keberadaan partai politik lokal yang secara nyata akan menjadi saingan baru bagi partai politik nasional.

Dua contoh kasus ini setidaknya memberikan gambaran betapa sulitnya ruang partisipasi tersebut dimasuki untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Selalu saja ada cara dan celah yang sengaja dicari dan diciptakan oleh para pengambil dan pembuat kebijakan untuk menghalangi agar ruang tersebut tidak diisi oleh masyarakat. Dengan sendirinya untuk pembahasan qanun-qanun yang bersifat strategis dengan muatan politik yang tinggi, bisa dilakukan tanpa ada hambatan yang berarti dari masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya.

Karena itulah sesungguhnya tantangan terbesar yang dihadapi dalam mendorong agar aturan main berupa mekanisme partisipasi masyarakat yang sudah diciptakan, sebagaimana telah dituangkan dalam Qanun No. 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun ada pada kemauan politik dan niat baik dari para pembuat dan pengambil kebijakan. Di titik inilah dorongan berupa reformasi birokrasi dimulai. Bagaimana merombak paradigma berfikir para birokrat dan elit politik pengambil dan pembuatan kebijakan sembari memperbaiki sarana dan pra sarana.

Hambatan lain datang dari masyarakat sendiri. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak partisipasi mereka, semakin mempersubur status quo dari perilaku eksekutif maupun legislatif. Sejatinya ini bukan kesalahan masyarakat semata. Rendahnya kesadaran itu juga diakibatkan ketidaktahuan mereka tentang arti pentingnya terlibat dalam setiap proses pembuatan kebijakan. Juga tidak mengetahui bagaimana mekanisme keterlibatan mereka dalam proses tersebut.

Keberadaaan Qanun No. 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (TCPQ), masih diketahui kalangan terbatas. Sosialisasinya masih sangat minim dilakukan. Akibatnya, jangankan masyarakat luas, para elit pemerintahan dan anggota dewan diseluruh tingkat dua saja masih belum mengetahui kalau aturan tentang pentingnya keterlibatan publik dan mekanisme keterlibatannya dalam setiap proses pembuatan kebijakan telah ada dalam bentuk qanun.

Belum lagi persoalan penguasaan dan pemahanan terhadap substansi yang terkandung didalam qanun TCPQ, oleh setiap stakeholders. Karenanya menjadi wajar, jika kemudian didalam setiap proses pembentukan kebijakan, keterlibatan publik menjadi sangat kecil dan bahkan nyaris tidak ada.

Tanya dan Jawab Seputar Pembentukan Qanun


Apa yang dimaksud dengan proses legislasi ?

Secara umum kata “legislasi” berarti “peraturan”. Istilah “legislasi” secara khusus digunakan untuk menjelaskan “pembentukan peraturan” . Kata “legislasi” digunakan untuk menyederhanakan istilah misalnya “proses pembentukan peraturan” menjadi “proses legislasi”.

Apa dasar hukum proses legislasi di Aceh ?
Proses legislasi di Aceh diatur dalam Qanun No. 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Gubernur Aceh. Qanun ini merupakan derivasi dari Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bagaimana tahapan proses legislasi di Aceh ?
Tahapan proses legislasi di Aceh meliputi Perencanaan, Penyiapan, Penyampaian, Pembahasan, Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan.

Pada tahap mana masyarakat dapat dilibatkan ?
Masyarakat dapat terlibat pada tahap penyiapan dan pembahasan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan
dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun. Dalam rangka memberi masukan tersebut masyarakat harus menyebutkan identitas
secara lengkap. Masukan tersebut memuat pokok-pokok materi yang diusulkan. Selanjutnya masukan tersebut diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan rancangan qanun.

Yang dimaksud dengan "identitas lengkap" adalah identitas kependudukan berupa Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan kependudukan lainnya yang dikeluarkan oleh keuchik/lurah atau nama lain atau identitas organisasi yang menjadi wadah komponen masyarakat.

Siapakah yang disebut dengan komponen masyarakat ?
Yang dimaksud dengan “komponen masyarakat" adalah pemangku kepentingan yang terkena imbas langsung dari sebuah kebijakan yang akan
ditetapkan dalam qanun seperti petani, nelayan dan kaum perempuan. (penjelasan pasal 16 ayat 2 huruf f).

Berapa lama tenggat waktu masukan dari masyarakat sudah harus disampaikan kepada legislatif atau eksekutif ?
Masukan yang diberikan oleh masyarakat melalui ruang-ruang partisipasi paling lama 7 (tujuh) hari sejak dilakukan penyebarluasan untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penyempurnaan materi rancangan qanun.


Tahap Perencanaan

Bagaimana suatu perencanaan legislasi dibuat ?

Perencanaan legislasi dibuat dalam suatu program legislasi, pada tingkat provinsi disebut dengan PROLEGA dan pada tingkat kabupaten disebut dengan PROLEK.

Apa yang dimaksud dengan PROLEGA/PROLEK ?
Program legislasi Aceh disingkat PROLEGA adalah instrumen perencanaan program pembentukan qanun yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis antara Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Program legislasi Kabupaten/Kota disingkat PROLEK adalah instrument perencanaan program pembentukan Qanun yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis antara Pemerintah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK).

Bagaimana jika terdapat usulan qanun yang tidak tercantum dalam PROLEGA/PROLEK ?

Pembentukan rancangan qanun harus berpedoman pada Prolega/Prolek, yang proses penyusunannya ditekankan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Namun demikian, dalam keadaan tertentu (darurat) legislatif atau eksekutif dapat mengajukan rancangan qanun di luar Prolega/Prolek. Untuk perencanaan Prolega/Prolek di lingkungan eksekutif dikoordinasikan oleh Biro/Bagian yang tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang perundang-undangan.

Tahap Penyiapan

Siapa yang dapat mengusulkan qanun ?
Qanun dapat diusulkan oleh DPRA/DPRK (selanjutnya disebut dengan legislatif) dan Pemerintah Aceh/Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut dengan eksekutif) melalui hak usul inisiatif (prakarsa).

Apa yang perlu dipersiapkan ketika mengusulkan qanun ?
Usul inisiatif dari legislatif atau eksekutif atas rancangan qanun harus disertakan juga dengan naskah/kajian akademik.

Apa yang dimaksud naskah/kajian akademik ?
Naskah Akademik adalah naskah yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan serta lingkup, jangkauan, objek atau arah pengaturan rancangan qanun yang secara konsepsi ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Kajian Akademik adalah kajian terhadap isi rancangan qanun yang sudah disiapkan oleh pemrakarsa yang dikaji secara akademis dari sisi pandangan Islamis, filosotis, yuridis dan sosiologis.

Bagaimana tata cara mempersiapkan usul inisiatif dari eksekutif ?
Usul inisiatif perancangan qanun baik dari eksekutif maupun legislatif harus melampirkan naskah/kajian akademik sebagai persyaratan pengusulan rancangan qanun. Usul inisiatif dari eksekutif dipersiapkan oleh SKPD (satuan kerja perangkat daerah), sesuai dengan bidangnya. SKPD tersebut melaporkan rencana penyusunan pra rancangan Qanun Aceh/kabupaten/kota kepada Gubernur/bupati/walikota disertai dengan penjelasan selengkapnya mengenai konsepsi pengaturan rancangan qanun yang meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; dasar hukum; sasaran yang ingin diwujudkan; pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; jangkauan serta arah pengaturan; dan keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain.

SKPD pemrakarsa terlebih dahulu harus mempersiapkan naskah/kajian akademik, yang sekurang-kurangnya memuat dasar Islamis, filosofis, yuridis, sosiologis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Dalam penyusunan naskah akademik, SKPD dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau pihak ketiga yang mempunyai keahlian dalam bidangnya, serta dilakukan secara partisipatif. Kemudian naskah akademik ini harus selalu disertakan pada saat pembahasan prarancangan qanun.

Dalam rangka penyusunan pra rancangan qanun, SKPD pemrakarsa dapat membentuk tim penyusun yang bertugas menyusun naskah pra rancangan qanun. Kemudian, naskah pra rancangan qanun tersebut disampaikan kepada SKPD terkait di lingkungan eksekutif untuk diminta tanggapan dan pertimbangan. Setelah 7 hari, hasil tanggapan tersebut disampaikan kembali kepada SKPD pemrakarsa, untuk kemudian disampaikan kepada Sekretaris Daerah untuk diproses lebih lanjut.

Selanjutnya, sekretaris daerah menugaskan Kepala Biro Hukum/Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi pra rancangan qanun, dengan memperhatikan materi, tanggapan dan pertimbangan dari kepala SKPD terkait, serta juga dapat melibatkan mereka dalam prosesnya. Lalu, biro/bagian hukum sekretariat daerah melaporkan perkembangan pra rancangan qanun kepada Gubernur/Bupati/Walikota.

Gubernur/Bupati/Walikota. dapat membentuk tim asistensi untuk pembahasan rancangan qanun, yang terdiri dari sekretaris daerah sebagai ketua, kepala biro/bagian hukum sebagai sekretaris, unsur SKPD terkait sebagai anggota, unsur MPU sebagai anggota, unsur tenaga ahli sebagai anggota, dan unsur masyarakat yang terkena dampak langsung sebagai anggota. Tim asistensi ini bertugas untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan; membuat daftar inventarisasi masalah; menyusun jadwal pembahasan; menyempurnakan pra rancangan qanun.

Bagaimana tata cara mempersiapkan usul inisiatif dari legislatif ?
Rancangan qanun yang berasal dari legislatif, dapat disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi atau panitia legislasi DPRA/DPRK. Rancangan yang berasal dari anggota, sekurang-kurangnya diajukan oleh 5 orang anggota sebagai pemrakarsa yang berasal dari 2 (dua) fraksi atau lebih.

Pemrakarsa melaporkan rencana penyusunan pra rancangan Qanun Aceh/Kabupaten/Kota kepada Pimpinan DPRA/DPRK disertai dengan penjelasan selengkapnya mengenai konsepsi pengaturan rancangan qanun yang meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; dasar hukum; sasaran yang ingin diwujudkan; pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; jangkauan serta arah pengaturan; dan keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain.

Anggota, Komisi, Gabungan Komisi atau Panitia Legislasi DPRA/DPRK sebagai pemrakarsa dalam menyusun persiapan pra rancangan qanun terlebih dahulu dapat menyusun naskah akademik/kajian akademik yang sekurang-kurangnya memuat dasar Islamis, filosofis, yuridis dan sosiologis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Proses penyusunan dari naskah ini dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau pihak ketiga yang mempunyai keahlian dalam bidang tersebut, serta dilakukan secara partisipatif. Nantinya, naskah akademik ini juga harus disertakan pada setiap pembahasan rancangan qanun.

Dalam menyusun pra rancangan qanun, anggota, komisi, gabungan komisi, dan panitia legislasi dapat membentuk tim penyusunan.

Apakah masyarakat dapat mengusulkan usulan rancangan qanun ?

Ya, masyarakat dapat mengusulkan rancangan qanun, namun dengan memanfaatkan hak usul inisiatif legislatif ataupun eksekutif. Ini tergantung mana yang lebih memiliki akses dan mudah untuk menerima usulan dari masyarakat.

Dimana masyarakat dapat berpartisipasi dalam tahap penyiapan ?
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyebarluasan pra rancangan qanun. Penyebarluasan pra rancangan qanun/rancangan qanun yang
berasal dari DPRA/DPRK dilaksanakan oleh Sekretariat DPRA/DPRK. Sedangkan penyebarluasan pra rancangan qanun/rancangan qanun yang berasal dari Gubernur/Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretariat Daerah Aceh dan Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota. Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui media yang mudah diakses oleh masyarakat guna mendapatkan masukan. Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" adalah agar khalayak ramai mengetahui adanya pra rancangan qanun/rancangan qanun yang sedang dibahas guna memberikan masukan atas materi yang sedang dibahas. Penyebarluasan dilakukan melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, dan edaran maupun media elektronik seperti televisi, radio dan internet di Aceh.

Partisipasi masyarakat juga dapat dilakukan pada masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah atau oleh Anggota/Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Legislasi DPRA/DPRK melalui Forum Seminar, Lokakarya, Fokus Grup Diskusi, Rapat Dengar Pendapat UMLIM (RDPU)
dan bentuk-bentuk penjaringan aspirasi publik lainnya.


Tahap Penyampaian

Apa yang dimaksud dengan tahap penyampaian ?
Tahap penyampaian merupakan tahap akhir dari tahap penyiapan dimana draft rancangan qanun dan naskah akademik sudah selesai sebagai usul inisiatif, kalau hak usul inisiatif berasal dari legislatif maka akan disampaikan kepada eksekutif dan begitupun sebaliknya.

Bagaimana mekanisme penyampaian dilakukan ?

Rancangan qanun yang telah disiapkan oleh eksekutif diajukan kepada legislatif dengan melampirkan naskah akademik/kajian akademik, dan surat pengantar yang disertai dengan keterangan gubernur/bupati/walikota. Surat pengantar tersebut memuat tentang penunjukan pejabat yang ditugasi untuk mewakili Gubernur/bupati/walikota dalam pembahasan bersama rancangan qanun di legislatif, dan sifat penyelesaian/pembahasan rancangan qanun yang dikehendaki. Kemudian, keterangan Gubernur/Bupati/Walikota tersebut memuat tentang latar belakang; tujuan, dasar dan sasaran; dan pokok-pokok dan ruang lingkup pengaturan.

Legislatif mulai membahas rancangan qanun paling lama 60 (enam puluh) hari sejak surat Gubernur/Bupati/Walikota diterima. Kemudian, Pejabat yang ditunjuk dan ditugasi mewakili Gubernur/Bupati/Walikota, wajib melaporkan perkembangan dan/atau permasalahan yang dihadapi dalam pembahasan rancangan qanun di legislatif kepada Gubernur/Bupati/Walikota.

Rancangan qanun yang disiapkan oleh Legislatif diajukan kepada Gubernur/bupati/walikota dengan surat pimpinan DPRA/DPRK dengan melampirkan naskah akademik/kajian akademik, dan juga disertai dengan surat pengantar dan keterangan DPRA/DPRK yang memuat latar belakang; tujuan, dasar dan sasaran; dan pokok-pokok dan ruang lingkup pengaturan.

Gubernur/Bupati/Walikota paling lama 60 (enam puluh) hari sejak menerima surat pimpinan DPRA/DPRK sudah harus menunjuk pejabat yang mewakilinya pada pembahasan rancangan qanun.

Apabila dalam satu masa sidang DPRA/DPRK dan Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan qanun mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan qanun yang disampaikan oleh DPRA/DPRK, sedangkan rancangan qanun yang disampaikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan sandingan. Kemudian, Rancangan qanun yang tidak mendapat persetujuan bersama antara Gubernur/bupati/walikota dan DPRA/DPRK, tidak dapat diajukan kembali dalam masa sidang yang sama.

Tahap Pembahasan

Dimana dan siapa yang membahas draft rancangan qanun ?
Pembahasan rancangan qanun berlangsung di DPRA/DPRK, dan dilakukan oleh DPRA/DPRK bersama Gubernur/Bupati/Walikota. Pembahasan bersama ini dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan, yaitu pembicaraan yang dilakukan dalam Rapat Komisi/Gabungan Komisi/Panitia Legislasi/ Panitia Khusus dan Rapat Paripurna DPRA/DPRK.

Apakah rancangan qanun yang telah diusulkan dapat ditarik kembali ?

Rancangan qanun dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRA/DPRK dan Gubernur/Bupati/Walikota. Penarikan kembali rancangan qanun ini dilakukan dengan permintaan resmi DPRA/DPRK atau Gubernur/Bupati/Walikota disertai dengan alasan yang patut. Sedangkan untuk Rancangan qanun yang sedang dibahas dapat ditarik kembali, apabila ada persetujuan bersama DPRA/DPRK dan Gubernur/Bupati/Walikota. Kemudian apabila rancangan qanun sedang dibahas oleh alat kelengkapan dewan, persetujuan penarikan kembali dilakukan dengan Keputusan Pimpinan DPRA/DPRK setelah mendapat pertimbangan Panitia Musyawarah. Dan apabila rancangan qanun sedang dibahas pada rapat paripurna, persetujuan penarikan kembali dilakukan dengan Keputusan DPRA/DPRK.

Apakah masyarakat dapat terlibat dalam pembahasan rancangan qanun ?

Ya, dalam tahap pembahasan masyarakat dapat dilibatkan dalam forum rapat dengar pendapat (pasal 25 ayat 1 huruf b). Masyarakat yang akan terkena dampak dari peraturan yang dibahas diundang untuk dimintakan masukannya. Selain diundang oleh legislatif, masyarakat juga dapat meminta legislatif untuk diundang pada forum rapat dengar pendapat dalam rangka memberi masukan.



Tahap Pengesahan

Apa yang dimaksud dengan pengesahan ?
Tahap pengesahan merupakan tahap dimana eksekutif dan legislatif telah setuju atas rancangan qanun yang dibahas. Selanjutnya rancangan qanun yang telah disetujui bersama oleh DPRA/DPRK dan Gubernur/Bupati/Walikota pada pembahasan bersama di DPRA/DPRK, disampaikan oleh pimpinan DPRA/DPRK kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi qanun. Penyampaian rancangan qanun ini dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.

Gubernur/Bupati/Walikota menetapkan rancangan tersebut menjadi qanun dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan qanun tersebut disetujui bersama oleh DPRA/DPRK dan Gubernur/Bupati/Walikota. Namun, apabila rancangan qanun tersebut tidak ditanda tangani oleh Gubernur/Bupati/Walikota dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan qanun disetujui bersama, maka rancangan qanun tersebut sah menjadi qanun dan wajib diundangkan.

Tahap Pengundangan dan Penyebarluasan

Apa yang dimaksud dengan tahap pengundangan dan penyebarluasan ?
Tahap pengundangan dan penyebarluasan merupakan tahap pamungkas dari proses pembentukan qanun. Qanun mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan kecuali ditetapkan lain dalam qanun yang bersangkutan. Qanun diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh/Lembaran Daerah Kabupaten/Kota dan diberi nomor. Pengundangan yang dimaksud merupakan pemberitahuan secara formal suatu qanun sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Pengundangan ini dilakukan oleh Sekretaris Daerah Aceh/Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota.

Untuk penjelasan qanun, dimuat dalam Tambahan Lembaran Daerah Aceh/Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, dan merupakan kelengkapan dan penjelasan dari Lembaran Daerah. Namun juga, setiap Tambahan Lembaran Daerah Aceh/Kabupaten/Kota diberi nomor.

Kemudian, qanun yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh/Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, wajib disebarluaskan oleh Pemerintah Aceh/pemerintah kabupaten/kota.