Minggu, Maret 02, 2008

Peluang dan Tantangan Mendorong Pembentukan Qanun Yang Partisipatif (1)

Apapun kebijakan yang dibuat negara, rakyat akan merasakan dampak dari kebijakan itu, oleh karenanya menjadi penting keterlibatan rakyat dalam setiap proses pembuatan kebijakan karena itu diatur dalam konstitusi (UU. No. 10/2004).

Partisipasi publik merupakan elemen mendasar dalam kerangka perwujudan good governance. Tersedianya ruang publik bukanlah sebuah hadiah yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Sebaliknya, hal itu merupakan kewajiban negara untuk memberikan jaminan terhadap tersedianya ruang partisipasi. Karena pada hakekatnya, rakyatlah yang sejatinya memiliki kedaulatan. Mereka berhak untuk terlibat dalam setiap upaya negara melaksanakan kewajibannya. Keterlibatan tersebut dalam rangka memastikan negara menjalankan kewajibannya secara sungguh-sungguh.
Partisipasi dengan demikian merupakan hal yang mendasar, dan bagian yang tidak terpisahkan dalam kerangka governance. Partisipasi menjadi satu dari sembilan unsur tata pemerintahan yang baik. Unsur lainnya adalah, supremasi hukum, transparansi, cepat tangap, membangun konsensus, kesetaraan, efektif dan efesien, bertanggungjawab dan visi strategis.

Dalam konteks demokrasi, pelaksanaan partisipasi dalam pengelolaan tata pemerintahan yang baik, adalah wujud dari partisipasi demokrasi. Dimana hal yang diinginkan adalah terciptanya suatu hubungan yang langsung antara masyarakat dengan pemerintah. Jadi, tidak sebatas pada konteks keterwakilannya dalam institusi pemerintahan maupun partai politik sebagaimana representative democracy.

Jika dicermati dalam tataran praktek, akan sangat terasa bahwa keterlibatan publik dalam proses penyusunan sebuah produk kebijakan masih rendah. Terjadi paradoks antara des sain dan des solen. Secara sepintas kondisi ini terjadi diduga kuat karena ketiadaan kemauan yang kuat dari para pihak, terutama pengambil dan penentu kebijakan. Sehingga acapkali konsep partisipasi yang sudah mendapat payung hukum, tidak pernah berjalan sebagaimana semestinya.

Dalam konteks Aceh, hal yang sama juga terjadi. Publik merasakan begitu sempitnya ruang partisipasi yang ada. Pemerintah masih begitu sulit memberikan hak-hak rakyat. Paradigma yang melingkupi para birokrat tersebut bahwa keterlibatan publik akan menambah persoalan baru dalam memutar roda pemerintahan. Memperlambat proses dan karenanya menghambat kinerja pemerintah.

Inilah sesunguhnya yang saat ini sedang terjadi di Aceh. Padahal jika merujuk pada UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah memberi ruang bagi hadirnya masyarakat dalam setiap proses pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 53 disebutkan bahwa “ Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam ragak penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah” Meskipun disadari pasal ini merupakan pasal yang tidak berbunyi, alias pasal ‘mati’. Artinya tidak dijelaskan bagaimana sesungguhnya bentuk dari perwujudan hak tersebut dilakukan. Semuanya diserahkan kepada legislatif yang diatur melalui tata tertib. Inilah yang kemudian dijadikan alasan oleh pemerintah untuk tidak secara sungguh-sungguh melaksanakan kewajibannya. Namun demikian, setidaknya UU ini telah memberi sedikit ruang bagi publik untuk terlibat.

Kehadiran UU Pemerintahan Aceh diharapkan bisa membuka ruang yang lebih lebar bagi keterlibatan publik dalam setiap pembuatan kebijakan di Aceh. Berkaca pada proses kelahiran UU ini, bisa menjadi pelajaran berharga untuk merumuskan sebuah regulasi yang mengatur tentang mekanisme partisipasi masyarakat. Pasal 238 Ayat (1) UU PA menyebutkan : ”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun. Ayat (2) Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik. Kemudian dalam beberapa pasal lain, seperti pasal yang mengatur tentang perekonomian, pendidikan, partai politik lokal, juga menyebutkan adanya patisipasi masyarakat.

Berangkat dari hal inilah kelahiran Qanun Aceh No 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun menjadi penting untuk dimaknai sesuai dengan semangat mewujudkan tata pemerintahan yang baik di Aceh. Harus disadari bahwa ketiadaan ruang bagi peran serta masyarakat dalam sebuah proses pembentukan peraturan perundang-undangan, merupakan awal dari munculnya benih-benih konflik. Tidak jarang sebuah peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan mendapat penolakan dari masyarakat oleh karena dalam proses pembentukannya mengabaikan aspek partisipasi. Sebut saja misalnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya; dan Undang-undang Yayasan.

Tentu tidak ada yang menginginkan berbagai qanun yang dilahirkan di Aceh mendapat penolakan dari masyarakatnya. Terlebih berkenaan dengan qanun-qanun yang bernilai strategis. Dengan kondisi Aceh yang masih dalam transisi, reaksi apapun yag ada dimasyarakat akan sangat rentan terhadap munculnya reaksi lainnya yang bisa menggangu situasi daerah yang semakin kondusif.

Keberlakukan Qanun No 3/2007, sesunggguhnya masih belum berjalan secara efektif. Meskipun saat ini proses pembuatan qanun oleh legislatif dan eksekutif terus berjalan, tetap saja mengabaikan peran serta masyarakat sebagaimana telah diatur oleh qanun tersebut. Sekadar contoh kasus pengabaian hak masyarakat, adalah pada proses pembentukan qanun sturuktur organisasi dan tata kerja sekretariat daerah dan sekretariat DPRA. Qanun ini sarat dengan kepentingan, karena berdampak pada hilangnya beberapa dinas tekhnis. Ini dengan sendirinya berpengaruh pada serapan dan realisasi anggaran pembangunan. Hal ini dikarenakan dalam pembahasannya, tahapan-tahapan dari mekanisme yang harus dilakukan untuk membentuk sebuah qanun terabaikan begitu saja. Tidak dibuatnya dialog publik, diseminasi informasi secara massif, keberadaan naskah akademis, dan waktu keterlibatan masyarakat yang dipotong.

Contoh lain adalah pembahasan rancangan qanun bantuan keuangan partai politik dan partai politik lokal. Rancangan qanun ini terus berproses tanpa memberi ruang sedikitpun kepada publik untuk terlibat. Pembahasan dilakukan dengan sangat tertutup. Bisa dimaklumi karena rancangan qanun ini sarat dengan kepentingan politik para politisi yang berasal dari partai nasional yang nota benenya saat ini masih duduk di kursi dewan. Jika ini di buka kepada publik, maka akan memperkuat keberadaan partai politik lokal yang secara nyata akan menjadi saingan baru bagi partai politik nasional.

Dua contoh kasus ini setidaknya memberikan gambaran betapa sulitnya ruang partisipasi tersebut dimasuki untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Selalu saja ada cara dan celah yang sengaja dicari dan diciptakan oleh para pengambil dan pembuat kebijakan untuk menghalangi agar ruang tersebut tidak diisi oleh masyarakat. Dengan sendirinya untuk pembahasan qanun-qanun yang bersifat strategis dengan muatan politik yang tinggi, bisa dilakukan tanpa ada hambatan yang berarti dari masyarakat atau pemangku kepentingan lainnya.

Karena itulah sesungguhnya tantangan terbesar yang dihadapi dalam mendorong agar aturan main berupa mekanisme partisipasi masyarakat yang sudah diciptakan, sebagaimana telah dituangkan dalam Qanun No. 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun ada pada kemauan politik dan niat baik dari para pembuat dan pengambil kebijakan. Di titik inilah dorongan berupa reformasi birokrasi dimulai. Bagaimana merombak paradigma berfikir para birokrat dan elit politik pengambil dan pembuatan kebijakan sembari memperbaiki sarana dan pra sarana.

Hambatan lain datang dari masyarakat sendiri. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak partisipasi mereka, semakin mempersubur status quo dari perilaku eksekutif maupun legislatif. Sejatinya ini bukan kesalahan masyarakat semata. Rendahnya kesadaran itu juga diakibatkan ketidaktahuan mereka tentang arti pentingnya terlibat dalam setiap proses pembuatan kebijakan. Juga tidak mengetahui bagaimana mekanisme keterlibatan mereka dalam proses tersebut.

Keberadaaan Qanun No. 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (TCPQ), masih diketahui kalangan terbatas. Sosialisasinya masih sangat minim dilakukan. Akibatnya, jangankan masyarakat luas, para elit pemerintahan dan anggota dewan diseluruh tingkat dua saja masih belum mengetahui kalau aturan tentang pentingnya keterlibatan publik dan mekanisme keterlibatannya dalam setiap proses pembuatan kebijakan telah ada dalam bentuk qanun.

Belum lagi persoalan penguasaan dan pemahanan terhadap substansi yang terkandung didalam qanun TCPQ, oleh setiap stakeholders. Karenanya menjadi wajar, jika kemudian didalam setiap proses pembentukan kebijakan, keterlibatan publik menjadi sangat kecil dan bahkan nyaris tidak ada.

Tidak ada komentar: